Kidung Mendung

BY IN Personal Stories Comments Off on Kidung Mendung

Hmmm, belakangan cuaca menjadi sangat panas dan bahkan kalau di siang hari, saya dapat melihat langitnya berwarna biru cerahhh… astaga. Saya masih mengucap syukur masih ada di dalam gedung sekolah yang full AC, dan bahkan merasa kedinginan ketika teman2 yang lain merasa kepanasan di luar sana.

Flash back ke beberapa tahun yang silam, ketika saya masih SMP kelas satu (sekarang kelas tujuh 🙂 ) waktu itu saya masuk sekolah di siang hari, kalau saya tidak salah ingat, bel masuk sekolah itu pukul 12.40 dan cuaca memang lebih sering panas. Sepanjang perjalanan saya mengayuh sepeda ke sekolah, saya melantunkan kidung mendung, yang menurut perkiraan saya cukup manjur dalam memanggil mendung. Dan entah karena apa, beberapa kali memang terbukti cukup manjur ketika hari mendadak tidak lagi panas, namun mulai mendung. Dan apa yang paling saya sukai dari mendung adalah warna langit yang mendadak menjadi berwarna abu2 dan mengingatkan saya akan keagungan Sang Pencipta.

Sehubungan dengan mendung, beberapa teman2 sepermainan saya di kampung selalu melantunkan lagu anak2 yang sama

“Udano sing deres, ono kucing umbah-umbah…”
artinya: hujanlah  yang deras, ada kucing mencuci pakaian…

Maksudnya adalah hujan yang diminta sedemikian derasnya, sampai2 kucing yang seharusnya merupakan hewan yang takut air, malah mencuci pakaian. Mungkin, kurang lebih demikianlah maksudnya 🙂

Saat2 menjelang hujan, dimana angin bertiup kencang dan langit hitam kelam tertutup mendung kelabu disertai dengan suara guntur yang menggelegar adalah saat2 terindah ketika saya masih SMP. Dengan membawa tas saya yang besarnya diatas rata2 tas kebanyakan siswa SMP, saya sering menikmati tetesan air hujan yang pertama turun membasahi bumi sembari menarik nafas panjang dan memejamkan mata. Bau tanah yang menandai berakhirnya musim kemarau dan dimulainya musim hujan juga merupakan hal yang menyenangkan saat itu. Sekalipun saya harus berhujan2 pulang ke rumah dan mbatik (untuk menggambarkan seragam sekolah bagian belakang yang kotor kena cipratan air hujan), namun saya tidak peduli.

namun setelah saya menjadi dewasa, suasana hujan yang demikian tidaklah menjadi suatu hal yang menyenangkan, mengingat lingkungan saya yang sekarang seperti ini. Sungguh prihatin apabila melihat hujan yang sedianya turun hanya sebentar, namun banjir sudah melanda dimana2. Akankah kita mendapatkan lingkungan yang nyaman, seperti sepuluh tahun yang lalu? Apa yang sudah kita lakukan terhadap lingkungan kita sehingga bahkan hujan yang tidak begitu lama saja mampu mendatangkan banjir?

Saya sungguh merindukan suasana itu, dimana saya bisa memejamkan mata… merasakan kesegaran angin yang membawa tetes2 air hujan… mendengarkan guntur bergemuruh… menyaksikan indahnya langit kelabu tertutup mendung… namun tidak membawa banjir bagi lingkungan kita…

Saat saya menulis tulisan ini, cuaca masih sangat panas… Dalam hati saya menyenandungkan Kidung Mendung yang pernah saya nyanyikan beberapa tahun yang lalu…

Mendung datanglah…
Mendung datanglah…




Comments are closed.