Hidup Tanpa Empedu

BY IN Kesehatan Comments Off on Hidup Tanpa Empedu

Dalam kurun waktu enam bulan terakhir, aku sering merasakan maag dan kembung. Perut juga terasa sebah, sehingga makan hanya tiga atau empat sendok saja sudah terasa penuh. Perut juga terasa sesak. Pada saat itu aku pikir, penyebabnya karena mungkin makan tidak teratur, banyak pikiran dan faktor psikologis lainnya. Bila terasa agak berat, aku biasanya minum obat maag. Terkadang maag itu hilang, tetapi juga tidak berkurang. Hingga saat itu, aku menganggap sakit maag biasa. Toh, aku masih dapat beraktivitas normal

Namun dalam beberapa waktu belakangan (sejak akhir Januari 2009), ada tambahan keluhan berupa meningkatnya suhu tubuh. Kata orang sejenis meriang, yakni demam yang tidak terlalu tinggi, aku sempat ukur kurang lebih sekitar 37.5 derajat Celcius. Itu terjadi terutama mulai pagi hari, jam 7.00 hingga sore hari. Biasanya sore hari, saat pulang dari kantor badan terasa lemas sehingga maunya langsung tidur. Hal ini hampir aku rasakan setiap hari. Bila meriang itu agak berat, aku ijin tidak masuk kantor.

Aku belum mengetahui secara jelas penyebab demam itu. Yang jelas demam bukan karena flu atau sakit gigi. Dugaan sementara demam itu dari sekitar perut, tepatnya pencernaan. Indikasi perut itu sudah beberapa kali terjadi dan berhasil diatasi oleh poliklinik kantor. Tapi demam kali ini agaknya berbeda, dan tidak berkurang dengan obat dari poliklinik. Aku dan istri menduga-duga tentang gangguan kesehatan kali ini. Kami mencoba mengurai beberapa alternatif. Akhirnya aku mengikuti saran istri supaya cek di laboratorium. Poliklinik kantor menyarankan tes darah lengkap dan USG. Awalnya aku menolak USG, karena tidak mengerti maksudnya. Baru kusadari itu untuk mendeteksi organ pencernaan d dalam perut.

Tanggal 15 Februari 2010 aku periksa di laboratorium klinik sesuai saran poliklinik kantor. Hasil lab menunjukkan tes darah normal secara keseluruhan, diantaranya kolesterol pada angka 182 (di bawah ambang 200). Yang mengejutkan adalah hasil USG. Di empedu dideteksi adanya batu dengan ukuran diameter 13 mm. Aku terkejut dengan hal ini, dan aku tidak mengetahui apa maknanya. Saat itu aku juga belum mengerti apa fungsi empedu. Kembali kurenungkan penjelasan dokter radiologi saat pemeriksaan USG. Dengan jelas ia bertanya (sekaligus mendiagnosis), apakah bapak punya maag, perut sering kembung dan sebah, serta tulang punggung sering terasa linu. Tentu saja aku katakan benar, itulah yang kualami. Pak, itu semua gejala yang cocok dengan batu empedu, tegas dokter radiologi yang berusia sekitar enampuluhan itu. Pembentukan batu (gallstones) di dalam kantung empedu (gallbladder) disebut kolelitiasis, biasa terjadi pada orang berusia di atas empat puluh tahun (lihat gambar dan referensi)

Selanjutnya aku konsultasi dengan internist dua hari berikutnya. Internist memberikan dua alternatif. Pertama dilakukan operasi pembedahan untuk mengambil empedu. Kedua dengan pengobatan intensif untuk melarutkan batu di dalam empedu. Alternatif kedua adalah dengan minum obat (enzimatik) hingga enam bulan, yang hasilnya tidak menjamin kepastian hilangnya batu empedu. Sambil memberi kesempatan berpikir, internist memberi resep obat hanya untuk dua minggu. Poliklinik kantor kemudian mengusahakan obat tersebut. Obat enzim itu diminum dua kali sehari, lainnya adalah anti panas dan antibiotik.

Lima hari aku merenung tentang keadaan kesehatanku. Pada saat yang sama kesibukan kantor makin tinggi, untuk mempersiapkan persiapan Dies Natalis ke 25 Universitas Widyagama Malang, tanggal 24 Fbruari 2010. Aku bekerja dengan tingkat intensitas tinggi karena bertanggungjawab langsung mengkoordinasi berbagai kegiatan Dies. Pada saat tertentu demamku juga makin tinggi sehingga aku sempat tidak masuk. Setelah rundingan dengan istri, aku putuskan untuk segera operasi setelah acara Dies.

Pada hari Sabtu, 27 Februari 2010, jam 7.00 aku masuk ruang operasi di rumah sakit swasta di kota Malang (kabarnya presiden Mesir, Mubarak, juga melakukan operasi gallbladder pada saat yang sama di Heidelberg University Hospital). Proses operasi berlangsung lancar, menggunakan teknik bedah normal. Operasi pengangkatan empedu dilakukan dengan bius total. Sekitar jam 10.30 aku tersadar di ruang pemulihan. Aku merasa pemulihan kali ini begitu lama dan benar-benar sangat lemah. Lebih lemah dibanding dua kali operasi sebelumnya saat bedah tulang pangkal lengan.

Kini, hari-hariku kunikmati tanpa empedu. Keadaan pasca operasi kulewati dengan kemajuan, gerakan mulai leluasa, sakit di jahitan perut sepanjang 5 cm itu semakin berkurang. Aku masih sedang mengamati proses-proses perubahan di tubuh, mencermati mekanisme pencernaan di dalam perut. Terkadang masih ada kembung, tekanan di perut atau sering buang angin. Aku mengumpulkan kisah-kisah sejenis dari internet dan sumber lain. Pengalaman teman, sanak saudara atau orang lain mengalir. Banyak cerita orang dapat bertahan hidup dan sehat tanpa empedu. Famili, tetangga, teman kantor atau facebook memberi semangat tentang keadaanku. Terimakasih semuanya.

Hidup baru, semangat baru, pikiran baru, .. tanpa empedu.

Referensi:

http://yayanakhyar.wordpress.com/2008/0 … er-stones/

http://perawatpskiatri.blogspot.com/200 … engan.html

http://tutorialkuliah.blogspot.com/2009 … iasis.html

http://www.gallstonesassistance.com/

Vila Bukit Sengkaling – Malang, 4 Maret 2010

Source: http://iwanuwg.wordpress.com/2010/03/05 … pa-empedu/




Comments are closed.