BAB TIGA CERITA DARI MASA LALU

BY IN Kumpulan Cerita, Original Stories Comments Off on BAB TIGA CERITA DARI MASA LALU

BAB TIGA
CERITA DARI MASA LALU

“Aku masih belum percaya kalau kejadian itu adalah pembunuhan. Tidak ada motif bagi orang-orang yang berkumpul di pesta itu untuk melakukan tindakan itu .”
Saat itu adalah waktu istirahat makan siang, keesokan harinya setelah kunjungan Inspektur Budi ke rumah Pak Yohanes sehari sebelumnya. Jam menunjukkan hampir pukul dua belas siang. Inspektur Budi duduk berhadapan dengan Letnan Haris di dalam sebuah kantin yang ada di seberang jalan kantor polisi.
“Tapi… ” kata Letnan Haris. “Tidak tertutup kemungkinan seseorang telah berhasil mengambil kunci itu dari kamar pelayan itu, bukan ?”
“Ya… itulah yang membuatku bingung. Kalaupun ada orang yang telah berhasil mengambilnya, maka orang itu adalah salah satu dari dua belas orang yang ada di pesta itu .”
Letnan Haris menghirup uap yang mengepul dari cangkir kopi yang sudah terhidang di depannya. Katanya,
“Bagaimana dengan wanita pelayan itu sendiri ? Dengan mudah ia mengatakan kepalanya pusing dan ia segera tidur. Padahal kenyataannya mungkin jauh dari itu. Ia mempergunakan kunci yang dipercayakan Pak Yohanes kepadanya untuk masuk ke dalam ruangan itu dan melakukan tindakan itu .”
Inspektur Budi menggeleng.
“Untuk apa ia melakukan hal itu ? Tidak ada motif yang kuat sampai ia berani melakukan tindakan senekat itu .”
“Mungkin ada orang yang menyuruhnya dengan disertai imbalan yang besar ?” Letnan Haris memberikan sebuah gagasan.
“Kemungkinan itu memang ada, tapi kupikir kesetiaannya terhadap Pak Yohanes melebihi segala-galanya termasuk uang. Ingat… Ia sudah lima belas tahun ikut keluarga itu. Ia sudah menjadi bagian dalam keluarga itu. Mana mungkin ia mengkhianati kepercayaan Pak Yohanes kepadanya ?”
Letnan Haris membenarkan ucapan Inspektur.
“Kalau begitu ada orang lain ,” katanya.
“Andaikata orang itu berhasil mengambil kunci itu, maka ia akan mengambilnya dan segera mengembalikannya sebelum wanita itu masuk ke dalam kamarnya. Wanita itu mempunyai kebiasaan memeriksa keberadaan kunci itu sebelum tidur. Dan malam itu ia melihat bahwa kunci itu masih berada di tempat dimana ia biasanya menyimpannya .”
Inspektur Budi meneguk kopi di hadapannya perlahan-lahan. Ia merasakan hangatnya kopi itu menyebar ke seluruh tubuhnya.
“Ahhh… Nikmat sekali .”
“Lalu, bagaimana kesimpulan anda terhadap kasus ini ?” tanya Letnan Haris.
Inspektur tampak masih menikmati kopinya sebelum kemudian ia menjawab pertanyaan bawahannya.
“Untuk sementara ini kurasa aku akan mengumpulkan informasi lebih banyak lagi. Baru setelah itu kita bisa menarik kesimpulan. Aku ingin berbincang-bincang dengan para pelayan lainnya termasuk tukang kebun dan sopir Pak Yohanes .”
Inspektur melanjutkan,
“Aku sama sekali tidak menyangka kalau kasus itu dapat berkembang menjadi serumit ini. Pada malam itu kurasa segalanya telah selesai. Ternyata tidak .”
Letnan Haris menanggapi.
“Kita memang tidak boleh tergesa-gesa dalam mengambil suatu keputusan .”
“Kasus kali ini benar-benar membingungkan. Tapi aku yakin, kebenaran akan menang pada akhirnya .”
Inspektur menghabiskan sisa kopi yang masih ada.
“Oh.. ya, Letnan. Ngomong-ngomong sudah kau dapatkan alamat kedua orang sahabat Pak Yohanes ?”
“Sudah. Saya lupa untuk menyerahkan kepada anda .”
Letnan itu merogoh saku seragam yang dikenakannya. Ia mengeluarkan secarik kertas dari situ dan memberikannya kepada Inspektur Budi.
Inspektur Budi mengangguk.
“Baiklah, terima kasih .”
Kedua orang itu bangkit dan setelah membayar di kasir, mereka kembali ke kantor polisi.
Kata Inspektur,
“Kalau ada yang mencari saya atau ada telepon, tolong kau katakan kalau saya sedang keluar sebentar .”
“Baiklah Inspektur ,” kata Letnan Haris.
Inspektur masuk ke dalam mobil Taft miliknya, sementara Letnan Haris masuk ke dalam kantor polisi. Inspektur berpendapat bahwa mengendarai mobil sangat menghemat waktu. Niatnya adalah mengunjungi Pak Hartono dan Pak Kosasih.
“Semoga mereka ada di tempat ,” gumam Inspektur.
Segera saja mobil itu melaju. Matahari bersinar cukup terik siang hari itu. Sementara di kejauhan, mulai kelihatan awan mendung bergulung-gulung. Musim hujan akan segera datang dan hujan pertama telah turun beberapa hari yang lalu sekalipun merupakan hujan rintik-rintik.
Kurang lebih seperempat jam berikutnya, Inspektur telah sampai ke alamat yang dimaksud. Ia meyakinkan dirinya sekali lagi dengan melihat pada kertas yang telah diberikan oleh Letnan Haris kepadanya.
Dengan sikap yakin dan penuh wibawa Inspektur masuk ke halaman rumah itu. Rumah itu tidak besar. Halamannya juga kurang terawat. Tidak ada pagar yang mengelilingi rumah itu seperti rumah Pak Yohanes. Setiap orang dapat langsung masuk ke halaman rumah. Semuanya itu terkesan sederhana.
Inspektur mengetuk pintu beberapa kali.
“Ya… sebentar .” Terdengar suara seseorang menyahut dari dalam.
Tidak berapa lama kemudian, pintu itu terbuka dan seorang wanita yang agak tua berdiri di ambang pintu.
“Selamat siang, Bu ,” sapa Inspektur Budi.
“Selamat siang. Ada keperluan apakah anda kemari dan siapakah anda ?”
Inspektur memperlihatkan kartu namanya dan menyatakan maksud kedatangannya untuk menemui Pak Hartono.
“Silakan masuk ,” kata wanita itu selanjutnya.
Inspektur Budi mengikuti wanita itu. Ia menduga kalau wanita itu adalah Bu Hartono.
Keadaan di dalam rumah sangat berbeda dengan luarnya. Ruang tamu rumah itu ditata begitu rapi walaupun tampak sederhana. Inspektur merasa senang berada di ruangan itu.
Wanita itu mempersilakan Inspektur untuk duduk dan menunggu sebentar.
Tidak lama kemudian Pak Hartono menemuinya.
“Halo, Inspektur. Adakah yang dapat saya bantu ? Saya rasa kedatangan anda kali ini tidak ada hubungannya dengan peristiwa meninggalnya teman saya dua hari yang lalu .”
Inspektur menyahut,
“Menyesal sekali. Saya justru datang ke sini dengan maksud ingin mengetahui latar belakang almarhum lebih banyak. Saya rasa anda lebih banyak tahu daripada saya .”
Pak Hartono mengelus kumis beserta janggutnya.
“Aneh ,” katanya. “Mengapa anda begitu tertarik terhadap kehidupan pribadi Yohanes ? Saya pikir tidak ada yang istimewa dengan kehidupannya. Begitu juga dengan pribadinya. Sama dengan kebanyakan orang pada umumnya .”
“Saya mempunyai alasan-alasan sendiri, Pak. Namun maaf, saya tidak dapat menceritakannya kepada anda sekarang .”
“Tidak apa ,” kata Pak Hartono. “Nah… Sekarang apa yang anda ingin bicarakan ?”
“Pertama-tama adalah soal hutang itu. Kapan tepatnya Pak Yohanes datang kepada anda untuk menceritakan perihal itu ?”
“Kurang lebih beberapa minggu yang lalu. Saya tidak tahu persis harinya. Hei.. saya rasa saya sudah mengatakannya kepada anda pada pesta malam itu .”
“Saya hanya menginginkan kepastian dari anda ,” kata Inspektur Budi dengan nada merendah.
“Mari kita teruskan… ” lanjutnya. “Tahukah anda kepada siapa Pak Yohanes telah berhutang ?”
“Wah… kalau soal itu, yah.. Pak Yohanes tidak mengatakan apa-apa kepada saya. Ia tidak pernah mengungkit-ungkit kepada siapa ia berhutang. Saya juga tidak memaksanya untuk menjawab .”
“Saya merasa aneh ,” kata Inspektur Budi. “Pak Yohanes adalah seorang jutawan. Kekayaannya berlimpah-limpah. Mengapa ia tidak segera melunasi hutang tersebut ?”
Kata Pak Hartono,
“Dengan jujur saya katakan, Inspektur. Sejak dua tahun belakangan ini, usahanya mengalami kemunduran yang drastis. Beberapa perusahaannya gulung tikar. Itulah yang ingin saya katakan kepada anda .”
“Jadi begitu ,” gumam Inspektur Budi.
“Oh.. ya ,” sambungnya. “Apakah hutang itu sampai saat ini belum terbayar, maksud saya mungkinkah Pak Yohanes telah membayarnya sebagian ?”
Pak Hartono mengangkat bahu.
“Saya tidak tahu, Inspektur. Maafkan saya. Pak Yohanes hanya menceritakan bahwa ia mempunyai hutang.. itu saja .”
“Jadi ia tidak mengatakan hal-hal lain ?” desak Inspektur.
“Saya yakin tidak .”
Inspektur terdiam beberapa saat lamanya.
Inspektur berbicara lagi.
“Sejauh mana hubungan anda dengan Pak Yohanes ?”
“Kami telah akrab sejak dulu. Bahkan saya telah lebih dulu mengenalnya sebelum Pak Kosasih. Terus terang saja, kami adalah kawan akrab sewaktu masih di Perguruan Tinggi. Sungguh tidak saya sangka ia akan pergi secepat ini. Lalu setelah lulus, hubungan kami menjadi agak renggang karena sibuk dengan urusan masing-masing. Namun sekalipun demikian, kami masih menyempatkan diri bertemu sedikitnya sebulan sekali. Biasanya pada saat bertemu, kami akan mengenang masa-masa indah yang dahulu kami nikmati bersama. Dan yang selalu tidak kami lupakan kalau kami berjumpa adalah permainan catur. Ia hebat dalam bermain catur. Tapi kami selalu seimbang. Kadang ia mengalahkan saya, kadang saya mengalahkannya. Waktu terus berlalu. Pak Yohanes berhasil memajukan usahanya. Usahanya terus berkembang dan berkembang dengan pesat. Kami semakin jarang bertemu. Pada suatu hari, Pak Yohanes tiba-tiba datang dengan seorang temannya. Ia mengenalkan teman barunya itu kepada saya sebagai Pak Kosasih, rekan bisnisnya. Usianya lebih muda dari kami. Dengan cepat kami bertiga menjadi akrab dan dari situlah persahabatan kami terjalin. Kami selalu terbuka satu sama lain. Kami sudah mengangkat janji akan saling membantu urusan masing-masing .”
Pak Hartono menarik napas panjang.
“Sampai pada suatu saat, Pak Yohanes jatuh cinta dengan seorang wanita. Saya masih ingat, saat itu usianya sudah tiga puluh dua tahun. Memang agak terlambat untuk menikah, karena diantara kami bertiga saya menikah lebih dulu kemudian Pak Kosasih dan yang terakhir dia. Mereka pun melangsungkan pernikahan dengan cukup meriah. Klara, istri Pak Yohanes memang tergolong cantik. Ia masih berusia dua puluh lima tahun saat itu. Saya rasa mereka sungguh berbahagia. Persahabatan kami tidak mengendur akibat pernikahan mereka. Bahkan lebih dari itu. Di sela-sela kesibukannya, Pak Yohanes masih bisa menyempatkan untuk mengajak kami bertamasya bersama istrinya. Kalau tidak salah saat itu kami pergi ke Bandung. Dan saya ingat kalau Klara tengah mengandung bayi mereka yang pertama. Setelah bayi itu lahir, Pak Yohanes membeli rumah baru. Mereka pindah ke rumah itu, rumah yang besar dan anggun, bukankah begitu, Inspektur ?”
Inspektur hanya mengangguk.
Pak Hartono melanjutkan ceritanya.
“Kebahagiaan mereka menjadi semakin lengkap saat munculnya anak kedua dan ketiga. Mereka menjadi kewalahan. Tugas-tugas rumah tangga banyak yang terabaikan. Akhirnya Pak Yohanes mempekerjakan seorang pelayan. Pelayan itu masih ada sampai sekarang. Pak Yohanes juga mempekerjakan seorang tukang kebun untuk merawat taman yang ada di halaman depan. Tapi malang, saat itu tiba-tiba Klara jatuh sakit. Saya masih ingat ketika pagi-pagi tiba-tiba Pak Yohanes datang dan menubruk saya sambil menangis. ‘Ia pergi… Ia telah pergi’ kurang lebih begitulah kata-kata yang dikatakan Pak Yohanes saat itu. Mulai saat itu, Pak Yohanes hidup sendiri. Saya dan Pak Kosasih masih sempat berkunjung ke rumahnya untuk menemaninya. Belum sampai setahun kematian Klara, Pak Yohanes sudah dapat melupakannya. Ia terpikat dengan seorang wanita lain .”
Inspektur terus menyimak kata-kata laki-laki itu.
“Terkadang saya benar-benar bingung dibuatnya. Pak Yohanes telah berjanji untuk selalu setia kepada istrinya. Hampir setiap hari ia selalu membawakan karangan bunga di makam Klara. Lalu tibalah saat itu. Munculnya seorang wanita lain di dalam kehidupannya. Tapi rupanya wanita itu adalah janda dengan seorang anak yang usianya hampir sama dengan Patricia, anak Pak Yohanes. Entah kenapa Pak Yohanes akhirnya melangsungkan pernikahannya dengan wanita itu. Siapa ya, namanya ? Saya tidak ingat. Saya memang tidak begitu akrab dengan wanita itu seperti saya dengan Klara. Ia pernah menyebutkan namanya, tapi.. ah, saya benar-benar lupa .”
Inspektur memotong cerita itu. Katanya,
“Barangkali ada alasan-alasan tertentu mengapa Pak Yohanes sampai mau menikahi wanita itu .”
“Wah… entahlah. Tapi sepanjang pengetahuan saya, kehidupan rumah tangga mereka cukup rukun dan Pak Yohanes sangat mencintai anak dari wanita itu .”
“Dan anak yang disebut-sebut itu adalah Maria ?”
“Ya, benar. Anak itu memang Maria .”
Tepat pada saat itu, Bu Hartono muncul dengan membawa nampan. Di atasnya ada dua cangkir berisi kopi dengan asap yang masih mengepul.
“Silakan Inspektur ,” Wanita itu mempersilakan Inspektur untuk minum kopi yang telah terhidang. Lalu ia kembali meninggalkan mereka berdua.
Inspektur menghirup aroma segar kopi itu.
“Lanjutkan cerita anda tadi, Pak ,” kata Inspektur.
Pak Hartono berpikir sejenak.
“Sampai dimana saya tadi ? Oh.. ya, Pak Yohanes lebih mencintai Maria dibanding dengan anak-anaknya sendiri. Itulah yang sebenarnya mengherankan saya. Dan hal tersebut tak ada seorang pun yang mengetahuinya kecuali orang-orang tertentu. Pak Yohanes dan istrinya, saya, Pak Kosasih dan mungkin juga pelayan rumah yang berbadan gendut itu. Maria sendiri tidak akan pernah menduga kalau Pak Yohanes bukan ayah kandungnya. Dan saya harap anda tidak membocorkan rahasia ini kepada siapa pun. Berjanjikah anda ?”
Inspektur tersenyum tipis.
“Sebagai orang biasa yang mulai bersahabat dengan anda, saya berjanji sepenuhnya. Tapi sebagai seorang polisi, saya tidak dapat berjanji karena mungkin dari fakta-fakta tersebut, kebenaran akan muncul. Saya kan tidak mungkin muncul di pengadilan dengan mengucapkan hal yang tidak benar. Saya harap anda memaklumi kedudukan saya. Tapi saya usahakan untuk sementara agar tidak ada orang yang tahu masalah ini .”
Pak Hartono berkata dengan berat hati,
“Baiklah kalau begitu. Saya tidak dapat memaksa. Saya cemas bagaimana reaksi Maria kalau ia sampai tahu bahwa Pak Yohanes bukan ayah kandungnya sendiri .”
Pak Hartono melanjutkan ceritanya,
“Saya lanjutkan kisah masa lalu Pak Yohanes. Pernikahannya yang kedua tidak berumur panjang. Belum genap satu tahun, istrinya meninggal dunia. Kabarnya karena sakit keras.
“Pak Yohanes kembali berduka. Akhirnya ia memutuskan untuk tidak menikah lagi. Ia ingin membesarkan anak-anaknya sendiri. Waktu terus berlalu. Anak-anak itu telah tumbuh menjadi gadis-gadis yang cantik-cantik. Saya sering mendengar Pak Yohanes suka membanggakan kecantikan anak-anak gadisnya. Pada saat kami bertiga, maksud saya bersama Pak Kosasih, ia selalu tertawa-tawa dan mengejek saya yang sampai sekarang belum mempunyai keturunan. Saya tidak merasa tersinggung atas perkataannya itu karena saya memang mengakui kalau anak-anaknya memang sempurna. Gadis-gadis itu saling bersahabat satu sama lain dan hampir tidak ada pertengkaran diantara mereka. Dan tidak jarang sepupu mereka datang berkunjung untuk bermain bersama-sama. Sampai pada akhirnya Maria mengenal Henry. Entah bagaimana awalnya perkenalan itu sehingga kemudian mereka saling jatuh cinta. Setahun setelah jalinan asmara mereka, Pak Yohanes menyerahkan kedudukannya kepada Henry. Dan saya rasa dari situlah awal kemunduran perusahaan-perusahaan Pak Yohanes. Saya pernah mendengar Pak Yohanes menggerutu dan merasa tidak puas. Dan mungkin juga dari situlah timbulnya hutang itu. Setelah setahun berlalu, perusahaannya banyak yang pailit dan semua bisnisnya juga kacau. Anehnya, pada saat yang seperti itu, Pak Yohanes masih juga bisa menyelenggarakan pesta pernikahan Maria dengan Henry. Dan kelanjutan dari pesta itu sudah anda ketahui, Inspektur .”
Kedua orang itu bersama-sama meneguk kopi mereka.
“Satu hal yang harus dicatat dari cerita anda tadi ,” kata Inspektur. “Pak Yohanes begitu mengasihi Maria sehingga ia rela melakukan apa saja demi kebahagiaan Maria. Bukankah begitu, Pak Hartono ?”
Pak Hartono mengangguk mengiyakan.
“Benar sekali, Inspektur ,” katanya.
“Sekarang saya ingin bertanya tentang kepribadian Pak Yohanes sendiri yang belum terungkap dari cerita anda tadi. Saya harap anda tidak tersinggung. Apakah ia gemar menghambur-hamburkan uang ?”
“Saya pikir ia juga bukan tipe laki-laki seperti itu. Pokoknya ia sangat baik hati .”
“Semua orang menyukainya ,” kata Inspektur lambat-lambat. “Apakah tidak mungkin ada orang yang tidak menyukainya dan menaruh dendam kepadanya ?”
Pak Hartono menggeleng.
“Tidak ada alasan bagi orang untuk membencinya. Semasa hidupnya, Pak Yohanes dikenal sebagai orang yang dermawan, jujur dan baik hati. Tidak heran kalau sejak kemarin malam rumahnya dipenuhi orang-orang yang bermaksud melayat. Katanya pemakamannya akan dilaksanakan esok lusa .”
“Keluarganya telah mengambil jasadnya tadi pagi ,” kata Inspektur menambahkan.
“Begitulah, Inspektur ,” sahut Pak Hartono. “Tidak ada alasan yang kuat bahwa ia telah dibunuh oleh seseorang .”
Inspektur tampak sedang berpikir. Katanya,
“Sekarang saya ingin menanyakan tentang saudara-saudara Pak Yohanes. Apakah anda juga mengenal mereka ?”
“Saya tidak begitu akrab dengan mereka. Saudara Pak Yohanes ada dua orang dan semuanya adalah wanita. Larasati, kakak Pak Yohanes. Wanita itu sempat menikah beberapa tahun silam. Tapi pernikahan itu juga tidak lama karena suaminya meninggal. Ia belum sempat memiliki keturunan. Tentang pribadinya sendiri, tidak banyak yang dapat saya ceritakan kepada anda, Inspektur. Ia sepertinya seorang wanita yang tegas dan penuh wibawa .”
Dalam hati Inspektur Budi membenarkan ucapan Pak Hartono.
“Lalu adik dari keduanya. Namanya Astuti. Sikapnya kurang ramah dan bahkan kadang-kadang menjengkelkan. Ia gemar berfoya-foya dan bermewah-mewah. Ia menikah dengan seseorang yang merupakan keturunan Belanda. Gregorius… ya, itulah nama laki-laki yang dinikahinya. Perkawinan mereka berlangsung sangat meriah. Lalu mereka berbulan madu di negeri Belanda. Saat itu mungkin Astuti sudah mengandung. Tak berapa lama, lahirlah anak mereka yang diberi nama Violette. Tapi akhirnya semua orang memanggilnya dengan sebutan Viola.
“Viola tumbuh sebagai seorang gadis yang berkepribadian baik. Ia tidak mewarisi sifat-sifat ibunya yang buruk. Kurang lebih setahun yang lalu, ia pergi ke negeri Belanda untuk melanjutkan studinya. Saya dengar, di sana masih ada beberapa famili dari papanya .”
Inspektur menyahut,
“Apakah selain kedua orang tersebut, maksud saya Bu Larasati dan Bu Astuti, Pak Yohanes tidak punya saudara lagi ?”
Pak Hartono berpikir sejenak.
“Saya rasa tidak ,” katanya. “Kedua orang tua mereka telah meninggal sejak lama. Mereka tidak mempunyai saudara lagi. Kalau saudara jauh mungkin ada, tapi Pak Yohanes tidak pernah menceritakan apa-apa kepada saya .”
“Saya rasa anda sangat mengenal kehidupan keluarga Pak Yohanes seperti anda mengenal diri anda sendiri .”
Pak Hartono tertawa.
“Sebagaimana yang sudah saya katakan tadi, Inspektur. Saya dan Pak Yohanes telah bersahabat karib sejak beberapa tahun yang lalu. Selama itu kami tidak pernah bertengkar sekali pun. Kami saling mengerti satu sama lain, saling membantu satu sama lain. Itulah persahabatan sejati .”
“Dan Pak Kosasih ?”
“Ya, tentu… Kami bertiga ,” kata Pak Hartono.
Inspektur Budi kembali meneguk kopinya.
“Bagaimana dengan para pelayan yang tinggal di rumah Pak Yohanes ? Apakah anda juga mengenalnya ?”
Pak Hartono kelihatan sedikit bingung.
“Mengapa anda menanyakan hal itu ? Apa hubungannya dengan Pak Yohanes ?”
“Banyak sekali hubungannya. Dan siapa tahu dari para pelayan itu, kita mendapatkan informasi yang mengungkapkan sisi lain dari pribadi Pak Yohanes yang tidak anda ketahui .”
“Masuk akal juga kata-kata anda, Inspektur .”
“Bagaimana ? Kenalkah anda dengan mereka ?” ulang Inspektur.
Pak Hartono menggeleng pelan.
“Saya tidak begitu memperhatikan mereka. Terus terang, Inspektur.. Saya adalah tipe orang yang tidak suka mencampuri urusan orang lain. Saya tidak suka mencari-cari tahu apa yang bukan menjadi urusan saya .”
“Bagaimana dengan wanita bertubuh gendut itu ? ( Inspektur Budi sebenarnya agak enggan mengatakan kata ‘gendut’ karena hal itu mengingatkannya akan kondisi tubuhnya ) Apakah anda tidak tahu apa-apa tentang dirinya ?”
“Yang jelas, ia wanita yang selalu mengerjakan segala tugasnya. Ia sangat mencintai anak-anak Pak Yohanes. Sejak ia bekerja di rumah itu, ia telah dianggap sebagai bagian dari keluarga. Saya rasa tidak ada lagi yang dapat saya tambahkan mengenai diri wanita itu .”
Inspektur terus mendesak.
“Bagaimana dengan kebiasaan-kebiasannya setiap hari ? Tahukah anda kalau setiap pagi ia selalu mengerjakan tugas rutin umpamanya membersihkan ruangan kerja Pak Yohanes ?”
Pak Hartono mengangkat bahu.
“Saya tidak tertarik untuk mengetahui apa yang dikerjakannya setiap hari .”
Inspektur terdiam sejenak.
“Ruangan itu … Apakah Pak Yohanes pernah mengajak anda masuk ke dalamnya ?”
“Tentu saja, Inspektur. Saya bersama Pak Kosasih beberapa kali masuk ke dalam ruangan itu .”
“Apa yang dilakukan di dalamnya ?”
“Biasanya kami bercakap-cakap. Kadang-kadang Pak Yohanes memperlihatkan cerita-cerita karangannya kepada kami .”
“Kapan anda masuk ke dalam ruangan itu untuk terakhir kalinya, maksud saya sebelum pesta malam itu ?”
Pak Hartono mengerutkan dahi.
“Waduh.. saya lupa. Mungkin seminggu atau dua minggu sebelumnya, saya tidak tahu pasti. Saat itu hanya ada saya dan Pak Yohanes. Pak Kosasih kebetulan sedang pergi jadi kami berdua bercakap-cakap kurang lebih satu jam lamanya .”
“Apa saja yang anda perbincangkan dengan Pak Yohanes ?”
“Banyak hal.. Tentang masa lalu kami yang begitu penuh kenangan. Dan tentang pernikahan Maria .”
“Adakah ia menyinggung sesuatu yang tidak saya ketahui tentang pernikahan Maria ?” tanya Inspektur Budi.
“Saya rasa tidak. Ia berbicara tentang hal-hal yang umum saja. Tentang kebahagiaannya bahwa Maria akan segera mempunyai anak dan dengan begitu ia menjadi seorang kakek. Yah.. saya rasa hal-hal semacam itulah yang kami bicarakan waktu itu .”
Pak Hartono mengelus-elus janggutnya. Inspektur Budi hampir tidak dapat menahan tawanya melihat ekspresi wajah Pak Hartono waktu ia memegang janggutnya.
Inspektur mengalihkan bahan pembicaraan.
“Umur anda sebaya dengan Pak Yohanes. Tapi anda masih tetap segar bugar. Anda senang berolah raga ?”
Pak Hartono merasa tersanjung.
“Tentu saja. Setiap pagi saya selalu jogging di sekitar rumah. Benar-benar menyenangkan .”
Pak Hartono tampak bersemangat.
Inspektur berkata dengan pelan,
“Saya seharusnya malu. Saya yang berusia lebih muda jarang sekali berolah raga. Akibatnya ya begini .” ( Yang dimaksud Inspektur adalah kondisi tubuhnya. Namun ia enggan untuk mengutarakan secara terang-terangan kepada Pak Hartono ).
Inspektur Budi melihat arlojinya.
“Wah.. tidak terasa. Kita sudah berbicara hampir dua jam lamanya. Saya telah banyak menyita waktu anda. Saya mohon diri .”
Pak Hartono tersenyum.
“Ah… tidak apa-apa, Inspektur .”
Kedua laki-laki itu berjabatan tangan. Inspektur Budi memberi salam kepada Bu Hartono dan saat berikutnya mobilnya telah meninggalkan kawasan rumah itu.

Pukul tiga lebih beberapa menit.
Inspektur Budi mengendarai mobilnya perlahan-lahan. Saat itu ia berada di kawasan perumahan elite dimana Pak Kosasih tinggal. Beberapa saat lamanya mobilnya hanya berputar-putar tanpa menemukan alamat yang dicarinya.
Akhirnya Inspektur Budi menyerah. Ia mendatangi pos yang ada di ujung jalan. Setelah mendapatkan petunjuk dari petugas jaga tentang alamat Pak Kosasih, Inspektur polisi itu segera tancap gas menuju alamat yang dimaksud.
Sekarang, rumah itu sudah ada di hadapannya. Rumah itu lumayan besar dan anggun. Inspektur Budi sempat terpukau akan arsitektur dari rumah itu. Jelas jauh lebih artistik dari rumah Pak Hartono.
Inspektur menekan bel yang ada di belakang pintu gerbang. Satu kali… Dua kali… Inspektur hampir saja menekan bel untuk yang ketiga kalinya, ketika dilihatnya pintu depan rumah itu terbuka. Seorang wanita berjalan dengan langkah terburu-buru ke arah pintu gerbang.
“Ada perlu apa, Pak ?”
Inspektur memperlihatkan kartu namanya dan menyatakan maksud kedatangannya.
“Oh.. maafkan saya, Pak. Pak Kosasih baru saja pulang dari kantor dan mengatakan kalau ia tidak mau diganggu oleh siapa pun. Katanya kepalanya agak sedikit pusing .”
“Bahkan oleh seorang polisi sekalipun ?” desak Inspektur.
Wanita itu tergagap.
“Ma..maafkan saya. Saya hanya seorang pelayan di rumah ini. Saya harus selalu mematuhi apa yang dikatakan Pak Kosasih kalau tidak ia akan marah kepada saya .”
Inspektur menyadari kalau ia tidak dapat memaksa.
“Baiklah kalau begitu. Ngomong-ngomong… apakah Pak Kosasih sering marah kepadamu ?”
Wanita itu tertunduk.
Inspektur memperhatikan wanita itu. Usianya sekitar tiga puluh limaan. Sekalipun demikian, penampilannya tampak lebih tua dari usianya. Mungkin karena ia dalam keadaan susah.
Inspektur melanjutkan,
“Katakanlah… Saya tidak akan mengatakannya kepada majikanmu .”
Inspektur menyadari bahwa para pembantu rumah tangga biasanya senang bergunjing. Dan ia berharap percakapannya dengan wanita itu akan memberikan keterangan dan gambaran mengenai kepribadian Pak Kosasih.
Wanita itu mendesah.
“Yah… begitulah, Inspektur. Ia sering marah-marah. Terutama sekali kalau ada yang mengganggunya pada saat-saat seperti ini .”
“Jadi begitu…” gumam Inspektur.
Inspektur menyambung,
“Bagaimana dengan istrinya, maksud saya Bu Kosasih ?”
Wanita itu berkata,
“Ia lebih bijaksana daripada suaminya. Ia lebih mengerti akan saya daripada Pak Kosasih. Renny, anak mereka pun juga demikian .”
“Berapa usia anak mereka itu ?”
“Ia masih SMA.. Kira-kira umurnya enam belas tahun .”
“Sudah lama anda ikut keluarga ini ?”
Wanita itu berpikir sejenak.
“Ya… Saya rasa lebih dari tiga belas tahun .”
Inspektur melanjutkan,
“Tahukah anda akan kebiasaan-kebiasaan keluarga ini ? Barangkali ada sesuatu yang istimewa keluarga ini ?”
“Tidak. Keluarga ini sama seperti keluarga-keluarga lain pada umumnya. Hubungan antar keluarga terjalin dengan baik. Terjalin saling pengertian antara anggota keluarga yang satu dengan anggota keluarga lainnya .”
“Ngomong-ngomong berapa orang yang tinggal di rumah ini ?”
“Semuanya ada enam orang, dihitung dengan saya dan Pak Mat, pembantu lainnya .”
“Enam orang ?” ulang Inspektur Budi.
“Ya. Yang empat orang adalah Pak Kosasih beserta isteri dan anaknya. Lalu yang seorang lagi adalah laki-laki yang masih saudara jauh Pak Kosasih .”
“Laki-laki itu tinggal di sini ?”
“Begitulah ,” kata wanita itu.
“Siapa namanya ?”
“Namanya Burhan .”
Tiba-tiba ada suara sepeda motor menepi. Si pengemudi adalah laki-laki dengan seragam sekolahnya. Seorang gadis remaja dengan paras cukup lumayan turun dari boncengan sepeda motor. Gadis itu pun masih memakai baju seragam SMA.
“Trims Jon.. Sampai besok !” kata gadis itu.
“Yuk, Ren .” Pemuda itu segera berlalu dengan Honda GLPRO-nya langsung melesat meninggalkan kawasan itu.
Sambil bersiul-siul kecil, gadis itu berjalan santai. Sejenak ia tertegun melihat keberadaan Inspektur Budi di depan rumahnya.
“Wah.. Rupanya ada tamu ,” kata gadis itu.
Ia memperhatikan pria gendut yang berdiri di hadapannya.
Wanita itu buru-buru membuka pintu gerbang dan bergegas mendekati gadis itu.
“Ada apa Bi ?”
“Non.. Orang ini adalah Bapak Inspektur dari Kepolisian kota Bogor .”
“Oh.. Pak polisi. Silakan masuk, Pak ,” kata gadis itu dengan ramah.
“Kau baru pulang sekolah ?” Inspektur membuka pembicaraan.
Gadis itu mengangguk pelan.
Inspektur masih mempertahankan senyum di bibirnya.
“Sayang sekali, nona manis saya harus mengganggumu, karena ini menyangkut sebuah kasus .”
Gadis itu agak terperanjat.
“Kasus ? Buat apa saya dibawa-bawa ? Dan lagi apa hubungannya dengan keluarga saya ?”
Gadis itu masuk ke dalam halaman rumah. Ia membanting tas sekolahnya dan merebahkan dirinya di atas kursi di teras. Inspektur Budi mengikutinya.
Gadis itu menyodorkan kursi. Katanya,
“Silakan duduk, Inspektur .”
“Bibi… Tolong buatkan es jeruk ,” kata gadis itu setengah berteriak. “Anda mau dibuatkan juga, Inspektur ?”
Inspektur Budi mengangkat bahu.
“Ya.. bolehlah ,” katanya.
Gadis itu berteriak lagi ,”Buat dua gelas es jeruk, Bi !”
Gadis itu berkata lagi,
“Kalau mencari papa, lebih baik jam sebelas malam saja .”
Inspektur mengerutkan dahinya.
“Mengapa begitu ?”
“Ia jarang sekali berada di rumah. Paling-paling sebentar lagi ia keluar lagi. Sibuk.. Sibuk.. Bisnis, begitu selalu yang dikatakannya kalau ditegur .”
“Bagaimana dengan ibumu ?”
Gadis itu tertawa. Kedengarannya tidak enak.
“Mama juga sama. Ia sering pergi dengan teman-temannya. Sibuk inilah.. itulah.. Arisanlah.. Kadang-kadang saya sering berpikir tentang kehidupan teman-teman saya, yang walaupun kehidupannya pas-pasan atau bahkan kurang, mereka sering berkumpul dengan keluarganya. Mereka tampak lebih berbahagia daripada saya. Saya merasa iri dengan mereka. Saya memang bersyukur karena mendapat kehidupan yang lebih dari cukup. Semua keinginan saya dapat terwujud. Tapi apalah arti semua itu dibandingkan dengan kasih sayang orang tua yang belum pernah saya dapatkan sejak kecil. Saya lebih akrab bergaul dengan Bibi, wanita pelayan tadi. Ia selalu mengerti akan diri saya .”
Tepat pada saat itu, yang dibicarakan muncul dengan membawa dua gelas berisi es jeruk.
Inspektur teringat akan ucapan wanita itu beberapa saat yang lalu. Rupanya ia telah memberikan sebuah kebohongan dengan mengatakan bahwa hubungan antar keluarga terjalin dengan baik. Padahal kenyataannya tidak demikian.
Gadis itu menenggak habis minumannya.
“Ahhh… Segar rasanya .”
Inspektur sendiri minum seteguk, lalu diletakkannya gelas itu di atas meja. Ia berujar,
“Bagaimana dengan pamanmu yang tinggal di sini ?”
Gadis itu menoleh kaget.
“Oom Burhan ? Darimana anda tahu tentang dia ?”
Belum sempat Inspektur mengucapkan kata-kata, gadis itu sudah menyambung kembali ucapannya.
“Ah.. sudahlah. Oom Burhan adalah karyawan di perusahaan papa. Saya tidak suka padanya. Ia orangnya kasar dan tidak sopan.. Pokoknya.. bagaimana ya …”
Inspektur buru-buru memotong,
“Sudahlah, saya mengerti .”
Gadis itu mengambil majalah lalu mengibas-ngibaskannya.
“Panas sekali hari ini ,” katanya. Ia bangkit berdiri.
“Maafkan saya, Inspektur, kepala saya terasa berat. Saya mau tidur. Kalau anda tidak berkeberatan, silakan menunggu papa. Tapi kalau boleh saya memberi nasihat, lebih baik anda pergi saja sekarang .”
Gadis itu segera berlalu.
Inspektur termenung.
“Keluarga yang kurang harmonis ,” gumamnya. “Jika saja aku diberi kesempatan untuk membentuk keluarga seperti ini, aku akan membina keharmonisan antar anggota keluarga .”
Cukup lama juga Inspektur termenung. Ia tergagap saat ada seseorang menyentuhnya. Ternyata wanita pembantu itu.
“Maaf… Saya tidak bermaksud mengejutkan anda .”
Inspektur tersenyum tipis.
“Tidak apa-apa… Bagaimana dengan Pak Kosasih ?”
“Maaf, Inspektur. Penyakit Pak Kosasih sedang kambuh. Jadi beliau benar-benar tidak dapat menjumpai anda sekarang .”
Inspektur mengerutkan kening.
“Penyakit ? Penyakit apa ?” tanya Inspektur Budi.
“Yah… sudah sejak lama Pak Kosasih menderita suatu penyakit kronis. Saya sendiri kurang begitu paham nama penyakit itu. Yang jelas, kalau sedang kambuh Pak Kosasih sering mengeluh kepalanya terasa sakit dan ah… saya tidak tahu, Inspektur .”
Inspektur melirik arlojinya.
“Hmmm… baiklah. Kalau begitu saya permisi dulu. Mudah-mudahan kedatangan saya tidak mengganggu siapa pun. Tolong sampaikan salam saya pada Pak Kosasih dan salam manis untuk anaknya .”
Wanita itu mengangguk.
“Akan saya sampaikan, Inspektur .”
Inspektur Budi berjalan menuju mobilnya. Tidak sampai setengah menit kemudian, ia telah melaju dengan mobilnya meninggalkan kawasan rumah Pak Kosasih.
“Keluarga yang aneh… Semuanya seperti diliputi misteri. Kurasa dari pembantu Pak Kosasih aku tidak dapat berharap banyak. Harapanku hanya dari Renny, anaknya. Kelihatannya ia dapat berbicara secara terbuka. Tapi ada seorang pembantu lagi yang mungkin dapat diajak bicara. Dan penyakit ? Apa pula itu ? Sejak kapan Pak Kosasih menderita penyakit ? Kalau pun demikian seharusnya Pak Hartono menceritakannya padaku. Barangkali itu hanya suatu kebohongan. Siapa tahu… “
Senja itu indah sekali. Sinar matahari yang hampir memasuki peraduannya tampak begitu indah di ufuk barat. Sinarnya yang semburat merah di angkasa menunjukkan begitu besar kuasa dari penciptanya. Inspektur Budi sangat menikmati suasana indah seperti itu. Ia sempat terkenang saat-saat indah masa lalu. Dimana ia sering menikmati senja seperti itu. Masa-masa yang begitu indah itu terasa cepat sekali berlalu.
Tiba-tiba Inspektur tersentak. Diinjaknya pedal rem kuat-kuat sampai mobil itu berhenti mendadak. Seekor kucing dengan seenaknya telah menyeberang jalan memotong jalan yang dilalui mobil Inspektur.
“Hah… Untung, hampir saja ,” gumam Inspektur Budi.
Inspektur mencengkeram kemudinya kuat-kuat seolah ia ingin memusatkan konsentrasinya pada jalanan. Perjalanan selanjutnya berlangsung dengan lancar tanpa ada hambatan.
Beberapa saat kemudian, ia telah sampai di kantor polisi. Inspektur Budi melihat arlojinya.
“Wah… Sudah waktunya pulang .”
Dengan langkah-langkah lebar, Inspektur bergegas masuk ke dalam kantor polisi dan masuk ke dalam ruangan pribadinya.
“Inspektur… “
Inspektur Budi menoleh saat didengarnya ada suara seseorang memanggilnya. Ternyata Letnan Haris.
“Ada apa Letnan ?”
“Tadi ada seorang laki-laki mencari anda. Lalu saya katakan kalau anda tengah sibuk menyelidiki kasus kematian Pak Yohanes. Anda tahu apa katanya ?”
Inpektur menggeleng.
“Ia mengatakan kalau ia datang ke kantor polisi justru karena kasus tersebut. Katanya ia mempunyai informasi penting yang mungkin dapat membantu dalam pemecahan kasus ini .”
Inspektur merasa tertarik.
“Lalu… dimana orang itu sekarang ?”
“Ia berjanji akan datang lagi besok. Setelah itu ia tidak mengatakan apa-apa lagi dan langsung pergi. Saya telah berusaha menahannya dan saya juga berusaha mengorek keterangan darinya. Namun tampaknya ia tidak akan mengatakan apa pun kepada orang lain kecuali kepada anda .”
“Lalu apakah kau tidak tahu tempat tinggalnya ?”
“Saya sudah menanyakannya tapi ia berkeras tidak mau mengatakan tempat tinggalnya. Ia bilang saya tidak perlu kuatir karena ia pasti menepati janjinya untuk datang ke kantor polisi besok .”
“Ini sangat menarik ,” gumam Inspektur Budi.
“Oh..ya ,” lanjut kepala polisi itu. “Bagaimana rupa laki-laki itu ?”
“Perawakannya sedang, bentuk tubuhnya atletis seperti seorang olahragawan. Sepertinya ia gemar sekali berolah raga. Wajahnya pun cukup tampan. Ia masih muda. Usianya kira-kira sekitar antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun .”
Inspetur melanjutkan,
“Apakah tidak ada ciri yang lebih spesifik ?”
Letnan Haris mencoba mengingat-ingat.
“Saya rasa tidak, Inspektur. Laki-laki itu seperti orang biasa saja seperti kebanyakan orang pada umumnya .”
“Bisa jadi ini suatu perkembangan baru, Letnan .”
Letnan Haris sependapat dengan atasannya.
“Ya… saya pikir juga begitu .”
Inspektur Budi sudah menikmati rokoknya yang merupakan kegemarannya.
“Yah… Bagaimanapun kita tunggu saja sampai besok. Apakah tidak ada kejadian lain yang perlu kau laporkan ?”
“Tidak ada kejadian lain yang begitu penting. Seperti biasa, tadi kami menangkap Bugel, gelandangan itu. Ia tertangkap basah oleh patroli polisi pada saat ia berusaha mencuri barang-barang dari sebuah toko. Saat ini, ia sudah kami tahan. Apakah anda masih mengingatnya, Inspektur ?”
Inspektur Budi meringis.
“Bagaimana mungkin aku lupa ? Ia telah berkali-kali meringkuk di dalam tahanan. Baru beberapa bulan yang lalu ia dibebaskan, sekarang ia telah melakukan kejahatan lagi. Kelihatan sekali bahwa orang ini belum bertobat .”
Letnan Haris tertawa.
“Saya rasa ia sengaja melakukan semua itu agar ia bisa ditahan untuk mendapatkan makanan dalam tahanan .”
Inspektur ikut tertawa. Lalu katanya,
“Urusan si Bugel ini kuserahkan padamu, Letnan .”
“Baiklah, Inspektur .”
Letnan Haris baru akan beranjak pergi ketika Inspektur mengatakan bahwa ia masih membutuhkan pendapat darinya.
“Kau tahu, Letnan… Kasus kematian Pak Yohanes ini adalah salah satu kasus yang membingungkan selama karirku sebagai seorang polisi. Dari penyelidikanku tadi terhadap Pak Hartono, aku cukup mendapatkan banyak keterangan tentang masa lalu Pak Yohanes. Kisahnya dituturkan sejelas-jelasnya oleh Pak Hartono. Rupanya ia adalah seorang saksi penting yang dapat kita percaya. Sebaliknya, di rumah Pak Kosasih aku tidak mendapatkan apa-apa. Orang itu mengaku dalam keadaan yang kurang sehat sehingga tidak bersedia untuk ditemui. Sedangkan pembantu rumah Pak Kosasih sepertinya banyak menyimpan rahasia. Hal ini terlihat dari tutur katanya yang selalu serba salah tak menentu. Satu-satunya yang dapat membantu kita adalah puterinya. Bagaimana menurutmu ?”
Letnan Haris terdiam.
Lalu katanya perlahan,
“Kelihatannya kasus ini memang bukan kasus biasa, Inspektur. Namun saya pikir anda telah berusaha dengan sebaik mungkin. Dan untuk sementara ini tidak ada bukti yang mengarah kepada pembunuhan. Saya rasa kita harus bertindak secepat mungkin. Jika kejadian tersebut benar-benar peristiwa pembunuhan, kita harus secepatnya membuka kedok si pembunuh .”
Inspektur Budi mendesah.
“Sayang sekali sejauh ini aku belum mendapatkan bukti-bukti yang kuat untuk menyusun suatu teori baru yang menyatakan bahwa kematian Pak Yohanes karena dibunuh seseorang …”
Letnan Haris menyambung,
“Yang terpenting adalah bagaimana seseorang dapat masuk ke dalam kamar Pak Yohanes yang nyata-nyata telah terkunci. Hal itu yang selalu terasa membingungkan. Begitu banyak hal-hal yang aneh dan janggal pada malam itu .”
Inspektur membuang abu dari rokoknya.
“Terus terang, aku mencurigai Pak Kosasih. Ia paling lama berada di luar menjelang terjadinya peristiwa itu. Dan pada saat aku temukan, ia sedang berdiri di depan ruangan Pak Yohanes. Sebenarnya apa yang dilakukannya ? Aku tidak akan heran jika orang itu benar-benar telah membunuh Pak Yohanes. Sulitnya, bagaimana caranya ?”
Letnan Haris mengutarakan pendapatnya,
“Barangkali… ada jalan lain menuju kamar itu .”
Inspektur Budi mengibaskan tangan.
“Tidak mungkin… Hanya pintu itu satu-satunya jalan masuk menuju ruangan itu. Aku benar-benar yakin akan hal itu .”
“Jika seandainya ada jalan rahasia… “
Inspektur mengerutkan kening.
“Kemungkinan itu memang ada, Letnan. Tapi kurasa hal itu tidak mungkin. Tidak… Pasti ada cara lain .”
“Jika anda tidak dapat menemukan bukti, maka anda harus menerima bahwa kejadian itu bukan pembunuhan .”
“Aku harus dan pasti menemukan bukti. Aku telah berjanji pada Jenny dan aku percaya bahwa ayahnya bukan mati karena bunuh diri melainkan karena dibunuh. Disamping itu, aku masih punya senjata andalan yang belum kugunakan sampai saat ini …”
Letnan Haris merasa bingung dengan ucapan atasannya.
“Apa maksud anda, Inspektur ?”
Inspektur Budi tersenyum tipis. Katanya,
“Siapa lagi kalau bukan dia ?”
Letnan Haris menepuk kening.
“Benar juga… Mengapa saya sampai melupakannya ? Saya tahu siapa yang anda maksud, Inspektur. Walaupun masih muda, tapi saya yakin ia benar-benar orang yang cocok untuk membantu anda menangani masalah rumit ini .”
“Ia benar-benar cerdas …”
Inspektur Budi terdiam beberapa saat lamanya. Katanya,
“Baiklah, Letnan… Kau boleh kembali ke ruanganmu untuk membereskan apa yang perlu dibereskan. Dan setelah selesai semua, kau boleh pulang. Aku juga akan pulang setelah aku membereskan berkas-berkas ini .”
Letnan Haris mengangguk.
“Baiklah, Inspektur. Selamat sore .”
Inspektur menyambung,
“Oh..ya. Jika besok orang itu datang ke kantor polisi, segera kau antar ia ke ruanganku, mengerti ?”
“Baik, Inspektur .”
Letnan Haris membuka pintu ruangan itu dan bayangannya segera hilang dibalik pintu.
Inspektur masih tetap pada posisinya semula. Ia asyik membuat kepulan-kepulan asap dengan rokoknya. Ruangan itu semakin penuh dengan asap rokok. Dan justru hal itulah yang disukai oleh Inspektur Budi.
Saat berikutnya, ia bergumam sendirian,
“Perlukah aku memanggil Stefanus ?”

Oleh: Wahyu Kurniawan, 1998




Comments are closed.